Depot Iqro As-Salam: November 2014

Rahasia Dasar Mengelola Keuangan dari Rasulullah

Dengan langkah gontai, laki-laki itu datang menghadap Rasulullah. Ia sedang didera problem finansial; tak bisa memberikan nafkah kepada keluarganya. Bahkan hari itu ia tidak memiliki uang sepeserpun.
Dengan penuh kasih, Rasulullah mendengarkan keluhan orang itu. Lantas beliau bertanya apakah ia punya sesuatu untuk dijual. “Saya punya kain untuk selimut dan cangkir untuk minum ya Rasulullah,” jawab laki-laki itu.
Rasulullah pun kemudian melelang dua barang itu. “Saya mau membelinya satu dirham ya Rasulullah,” kata salah seorang sahabat.
“Adakah yang mau membelinya dua atau tiga dirham?” Inilah lelang pertama dalam Islam. Dan lelang itu dimenangkan oleh seorang sahabat lainnya.
“Saya mau membelinya dua dirham”
Rasulullah memberikan hasil lelang itu kepada laki-laki tersebut. “Yang satu dirham engkau belikan makanan untuk keluargamu, yang satu dirham kau belikan kapak. Lalu kembalilah ke sini.”
Setelah membelikan makanan untuk keluarganya, laki-laki itu datang kembali kepada Rasulullah dengan sebilah kapak di tangannya. “Nah, sekarang carilah kayu bakar dengan kapak itu…” demikian kira-kira nasehat Rasulullah. Hingga beberapa hari kemudian, laki-laki itu kembali menghadap Rasulullah dan melaporkan bahwa ia telah mendapatkan 10 dirham dari usahanya. Ia tak lagi kekurangan uang untuk menafkahi keluarganya.
Salman Al Farisi punya rumus 1-1-1. Bermodalkan uang 1 dirham, ia membuat anyaman dan dijualnya 3 dirham. 1 dirham ia gunakan untuk keperluan keluarganya, 1 dirham ia sedekahkan, dan 1 dirham ia gunakan kembali sebagai modal. Sepertinya sederhana, namun dengan cara itu sahabat ini bisa memenuhi kebutuhan keluarganya dan bisa sedekah setiap hari. Penting dicatat, sedekah setiap hari.

Nasehat Rasulullah yang dijalankan oleh laki-laki di atas dan juga amalan Salman Al Farisi memberikan petunjuk kepada kita cara dasar mengelola keuangan. Yakni, bagilah penghasilan kita menjadi tiga bagian; satu untuk keperluan konsumtif, satu untuk modal dan satu untuk sedekah. Pembagian ini tidak harus sama persis seperti yang dilakukan Salman Al Farisi.

mengelola uang 

Keperluan Konsumtif

Untuk soal ini, rasanya tidak perlu diperintahkan pun orang pasti melakukannya. Bahkan banyak orang yang menghabiskan hampir seluruh penghasilannya untuk keperluan konsumtif. Tidak sedikit yang malah terjebak pada masalah finansial karena terlalu menuruti keinginan konsumtif hingga penghasilannya tak tersisa, bahkan akhirnya minus.
Yang perlu menjadi catatan, bagi seorang suami, membelanjakan penghasilan untuk keperluan konsumtif artinya adalah memberikan nafkah kepada keluarganya. Jangan sampai seperti sebagian laki-laki yang menghabiskan banyak uang untuk rokok dan ke warung, sementara makanan untuk anak dan istrinya terabaikan.




Modal

Sisihkanlah penghasilan atau uang Anda untuk modal. Bahkan, kalaupun Anda adalah seorang karyawan atau pegawai. Sisihkanlah setiap bulan gaji Anda untuk menjadi modal atau membeli aset. Menurut Robert T. Kyosaki, inilah yang membedakan orang-orang kaya dengan orang-orang kelas menengah dan orang miskin. Orang kaya membeli aset, orang kelas menengah dan orang miskin menghabiskan uangnya untuk keperluan konsumtif. Dan seringkali orang kelas menengah menyangka telah membeli aset, padahal mereka membeli barang konsumtif; liabilitas.
Aset adalah modal atau barang yang menghasilkan pemasukan, sedangkan liabilitas adalah barang yang justru mendatangkan pengeluaran. Barangnya bisa jadi sama, tetapi yang satu aset, yang satu liabilitas. Misalnya orang yang membeli mobil dan direntalkan. Hasil rental lebih besar dari cicilan. Ini aset. Tetapi kalau seseorang membeli mobil untuk gengsi-gengsian, ia terbebani dengan cicilan, biaya perawatan dan lain-lain, ini justru menjadi liabilitas. Robert T Kiyosaki menemukan, mengapa orang-orang kelas menengah sulit menjadi orang kaya, karena berapapun gaji atau penghasilan mereka, mereka menghabiskan gaji itu dengan memperbesar cicilan. Berbeda dengan orang yang membeli aset atau modal yang semakin lama semakin banyak menambah kekayaan mereka.
Jangan dianggap bahwa aset atau modal itu hanya yang terlihat, tangible. Ada pula yang tak terlihat, intangible. Contohnya ilmu dan skill. Jika Anda adalah tipe profesional, meningkatkan kompetensi dan skill adalah bagian dari modal, bagian dari aset. Dengan kompetensi yang makin handal, nilai Anda meningkat. Penghasilan juga meningkat.

Sedekah

Jangan lupa sisihkan penghasilan Anda untuk sedekah. Mengapa? Sebab ia adalah bekal untuk kehidupan yang hakiki di akhirat nanti. Baik sedekah wajib berupa zakat maupun sedekah sunnah.
Apa yang dilakukan Salman Al Farisi adalah amal yang luar biasa. Ia bersedekah senilai apa yang menjadi keperluan konsumtif keluarganya. Jadi kita kita punya gaji atau penghasilan tiga juta, lalu kebutuhan konsumtif keluarga kita satu juta, kita baru bisa menandingi Salman Al Farisi jika bersedekah satu juta pula. Namun karena ada hadits Rasulullah yang menyebutkan bahwa sedekah satu bukit tidak dapat menyamai sedekah satu mud para sahabat, kita tak pernah mampu menandingi sedekah Salman Al Farisi.
Harta sejati kita yang bermanfaat di akhirat nanti adalah apa yang kita sedekahkan. Lalu mengapa kita membagi penghasilan kita menjadi tiga bagian; konsumsi, modal dan sedekah? Mengapa tidak semuanya disedekahkan? Sebab konsumsi dan modal sesungguhnya juga pendukung sedekah kita. Jika keperluan konsumsi kita terpenuhi, maka fisik kita relatif lebih sehat. Dengan fisik yang sehat, kita bisa beribadah dan bekerja yang sebagian hasilnya untuk sedekah. Mengapa perlu mengalokasikan untuk modal/aset? Karena ia akan semakin memperbesar pemasukan kita dan dengannya kita menjadi lebih mudah untuk bersedekah dalam jumlah lebih besar dan juga lebih banyak beramal. [Muchlisin BK] 
sumber : http://keluargacinta.com/rahasia-dasar-mengelola-keuangan-dari-rasulullah/

Mewujudkan “Baiti Jannati .. Rumahku adalah Surgaku ” di Dunia

“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS At Taubah [9]: 72)
 Karena perbedaan visi dan persepsi tentang arti kebahagiaan, masing-masing keluarga menggunakan cara dan dan jalan yang berbeda dalam menggapai kebahagiaan masing-masing. Sebagian keluarga menilai kebahagiaan dengan prestasi-prestasi akademik. Maka, setiap keluarga dipacu untuk semangat belajar dalam rangka mencapai cita-cita akademiknya. Sehingga berbagai macam gelar bertengger pada nama-nama anggota keluarga ini.
Sementara keluarga yang lain menganggap melimpahnya harta dan kekayaan  dapat mengantarkan kepada puncak kebahagiaan. Maka, seluruh anggota keluarga itu pun terinspirasi untuk merengkuh berbagai pernak-pernik dunia seperti mobil mewah, rumah bak istana dan tampilan ala selebritis.
Sebagian lagi, memandang jabatan dan kedudukan sebagai tolok ukur kebahagiaan. Hidupnya terkuras hanya untuk meraih jabatan. Bahkan, tidak sedikit yang menghalalkan segala cara demi meraih kedudukan dan jabatan itu.
Lalu, apa sih makna kebahagiaan keluarga yang sesungguhnya? Ayat di atas memberikan pemahaman, bahwa kebahagiaan yang hakiki dan “keberuntungan yang besar” adalah ketika kita dapat meraih surga di akhirat nanti. Hal ini menuntut kita untuk mampu menjadikan seluruh lingkungan kita, termasuk rumah kita menjadi taman-taman surga duniawi yang mampu menghantarkan semua keluarga kita menuju taman-taman surga ukhrawi.




Agar terwujud Baiti Jannati
Mengacu dari ayat di atas dan dalil-dalil lain, ada beberapa tips agar kita bisa merealisasikan Baiti Jannati, di antaranya:
Pertama: Mengenalkan Allah swt kepada penghuni rumah
Hal ini dilakukan dengan menerapkan Tarbiyah Imaniyah (Pendidikan Keimanan) kepada seluruh anggota keluarga sejak dini secara terpadu dan kontinyu sehingga mereka manjadi pribadi-pribadi yang bertakwa yang akan mewarisi surga. (lihat QS Ali Imran [3]: 133). Dan seluruh aktivitas orang yang bertakwa bernilai ibadah dan berpahala. Maka, dampak dari ketakwaan pun akan memancar dalam kehidupan keluarga. Pancaran sinar keimanan ayah, ibu dan anak-anaknya memantul di seluruh lorong-lorong rumah sehingga terciptalah ketenangan dan ketenteraman jiwa, kenyamanan, keakraban, kedamaian dan keharmonisan hubungan antaranggota keluarga. Bukankah rumah dengan situasi dan kondisi semacam itu bak surga dunia?
Namun, suasana surgawi di rumah seperti itu hanya akan terwujud manakala para penghuni rumahnya mengenal Allah swt dengan sangat baik. Di sinilah barangkali rahasianya, mengapa ayat di atas diawali dengan “Wa’adallah…” (Allah menjanjikan…). Jika ingin meraih surga (baca: kebahagiaan) di dunia dan akhirat, maka harus dekat dengan Yang Menjanjikan dan Menciptakan surga, yaitu Allah. Dan yang diberi janji pun bukan sembarang manusia, melainkan hanyalah orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan.Tanpa iman, harapan menggapai surga duniawi dan ukhrawi hanyalah tinggal harapan, dan tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Kedua: Menciptakan Raudhah min Riyadhul Jannah (taman dari taman-taman surga) di rumah
Caranya dengan menghidupkan rumah dengan pengajian-pengajian, baik khusus keluarga maupun umum, dan halaqah-halaqah dzikir (majelis-majelis untuk meningkatkan intensitas dzikir kepada Allah). Memakmurkan rumah dengan lantunan ayat-ayat Al Qur’an supaya tidak seperti kuburan sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, “Jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya syetan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah” (HR Muslim no. 1300).
Sesungguhnya kondisi seperti inilah yang disinyalir oleh Rasulullah sebagai Raudhah min Riyadhi’l Jannah (taman dari taman-taman surga).
Beliau saw bersabda, “Jika kalian melewati Riyadhul Jannah (taman-taman surga), maka bergabunglah!” Para sahabat bertanya, “Apa itu Riyadhul Jannah?” Nabi menjawab,“Halaqah-halaqah dzikir ” (HR At Tirmidzi no. 3432).

Ketiga: Mengenalkan surga kepada keluarga
Termasuk menghadirkan surga di rumah adalah dengan mengenalkan surga kepada keluarga. Mulai dari sifat surga dan kenikmatan pemandangannya yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan belum pernah tergerak di hati. Pintu-pintunya yang berjumlah delapan (lihat: HR An Nasaa’i no. 148), salah satunya bernama Ar Rayyaan yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang rajin berpuasa. Derajat surga, sungai-sungainya, anginnya, cahayanya, istana-istananya, pohon dan buahnya. Amalan-amalan yang diganjar surga, tabiat dan karakter jalan surga yang tidak bertaburan dengan bunga-bunga, melainkan penuh dengan kerikil dan duri. Makanan, minuman dan pakaian penduduk surga, dan khadam (pelayan) mereka. Bagi mereka kemah yang terbuat dari mutiara berlobang seluas 60 mil sehingga seorang mukmin mengelilingi keluarganya hingga seorang dengan lainnya tidak dapat saling melihat saking jauh dan luasnya (HR Bukhari IX/479 no. 2838). Dan berbagai kenikmatan lain yang tiada terbilang dan tak ada yang menandinginya (lihat secara lengkap dalam Al Jannah wa’n Naar (Surga dan Neraka), DR Umar Sulaiman Al Asyqar, hal. 115-267).
Ayat di atas menerangkan sebagian kecil dari kenikmatan tersebut, yaitu “surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn.…”
Bahkan, di atas semua kenikmatan itu, masih ada yang lebih besar dan lebih agung, yaitu keridhaan Allah swt sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah (lihat Tafsir Ibnu Katsir III/38-39).
Dari Abu Sa’id Al Khudry ra berkata: bahwasanya Rasulullah  pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada penghuni surga: “Wahai penghuni surga.” Mereka menjawab: “Baik, kami penuhi panggilan-Mu wahai Rabb kami dan semua kebaikan ada di kedua tangan-Mu.” Lalu Allah bertanya, “Ridhakah kalian?” Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak ridha, padahal Engkau telah memberi kami apa saja yang tidak Engkau berikan kepada makhluk lain.” Allah lalu berfirman, “Maukah Aku beri kalian yang melebihi semua itu?” Mereka menjawab, “Ya Rabb, apa sesuatu yang lebih baik dari semua itu?” Allah menjawab, “Aku halalkan untuk kalian ridha-Ku, maka Aku tidak akan murka terhadap kalian setelah ini selama-lamanya” (HR Bukhari XI/363-364 dan Muslim no. 2829).
Dan puncak dari semua kenikmatan di surga adalah melihat Allah Yang Maha Mulia. Dan tidak ada anugerah yang paling disukai oleh penghuni surga selain melihat Rabbnya Yang Maha  Berkah dan Tinggi (lihat HR Muslim no. 181).
Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan, “Rukyatullah (melihat Allah) adalah puncak kenikmatan akhirat dan derajat/tingkatan yang paling tinggi dari semua pemberian Allah yang istimewa…” (Jaami’ul Ushul X/557).
Dalam kajian Sayyid Quthb rahimahullah, bahwasanya hubungan dengan Allah yang sekilas dan melepaskan diri dari cengkeraman daya tarik dunia yang sesaat mendapatkan balasan beragam kenikmatan, lalu ditambah lagi dengan ridha Allah yang menggelora dalam jiwa-jiwa mereka, dan itu mereka rasakan tanpa terputus, maka pastilah “itu adalah keberuntungan yang besar” (lihat Fi Zhilal Al Qur’an III/1676).
Bahkan, jika perlu surga dan beragam kenikmatannya itu ditulis dan dikemas dalam suatu poster yang ditempel di tempat yang menarik perhatian di rumah, sehingga semua anggota keluarga selalu mengingatnya dan termotivasi untuk menjadi penguninya. Maka, hal ini secara tidak langsung dapat menjadi motivator dan stimulan dalam memproduksi banyak kebajikan. Sehingga benar-benar “Baiti Jannati, rumahku adalah surgaku“. 

 Sumber Ummi-online.com